Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah Tinjauan Sosiologis

Menjelang abad ke-21, di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, terjadi suatu perubahan paradigma pembangunan secara drastis. Pada masa-masa awal sesudah memperoleh kemerdekaannya, paradigma pembangunan yang dominan di negara-negara tersebut adalah industrialisasi. Selain diharapkan dapat mengangkat harkat hidup penduduk di negara-negara yang sedang berkembang, secara politis industrialisasi juga akan menyejajarkan kedudukan negara-negara tersebut dengan negara-negara Barat, yang sebagian besar adalah negara-negara yang pernah menjajah mereka. Merupakan kebang-gaan bagi seorang kepala negara dari sebuah negara yang sedang berkembang, apabila is dapat bertemu dengan seorang kepala negara dari negara Barat dan membicarakan industri pesawat terbang yang sama-sama mereka mil iki, meski-pun pesawat terbang yang diproduksi oleh negara yang sedang berkembang tersebut tidak laku dijual. Akibat dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan, maka pembangunan sektor pertanian relatifditelantarkan. Bahkan ada anggapan bahwa indikator keberhasi Ian suatu pembangunan adalah mengecilnya sumbangan sektor pertanian pada total pendapatan negara. Sebaliknya, apabila jumlah kontribusi sektor pertanian pada pendapatan nasional tetap tinggi, maka negara tersebut tetap dianggap sebagai negara yang terbelakang. Namun, menjelang abad ke-21, paradigma tersebut tiba-tiba berubah. Per-ekonomian negara-negara yang sedang berkembang, misalnya Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan, — yang semula dibanggakan akan dan telah menjadi negara-negara industri baru — runtuh di landa krisis moneter yang dahsyat. Industri-industri yang telah dibangun dengan investasi besar, runtuh karena timbulnya krisis ekonomi. Di Indonesia, ratusan industri dari berbagai jenis terpaksa menghentikan produksi, karena meningkatnya ongkos produksi yang disebabkan oleh menurunnya mata uang rupiah terhadap mata uang, dollar. Akibatnya, jutaan bunch industri kehilangan pekerjaan mereka. Hal yang sama juga terjadi pada sektor bangunan dan sektor perbankan.
Namun, tidak demikian halnya dengan sektor pertanian, khususnya sub-sektor perkebunan. Jika di Jawa banyak terdapat bunch industri yang kehilangan pekerjaan, maka di Sulawesi, para petani cokelat justru mengalami kehidupan yang berlimpah, karena terjadinya kenaikan harga cokelat di pasaran internasional.

Ketahanan sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir dari para perencana pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Jika semula industrialisasi diandalkan sebagai suatu model pembangunan yang akan mampu memecahkan masalah keterbe-lakangan negara-negara yang sedang berkembang; setelah krisis menimpa negara-negara tersebut, pembangunan sektor pertanian kemudian menjadi harapan baru dalam pembangunan di negara dunia ketiga.

Meskipun telah terbukti bahwa sektor pertanian mampu menjadi tumpuan hidup masyarakat yang sedang menghadapi krisis ekonomi, tetapi untuk men-jadikan sektor pertanian sebagai suatu leading sector dalam proses pembangunan bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk membangun sebuah agro-industri yang mampu menjadi mesin pendorong pembangunan ekonomi yang handal, dibutuhkan investasi yang mahal. Di samping itu, pembangunan suatu agro-industri akan menghadapi tantangan yang berasal dari perubahan-perubahan yang akan terjadi pada abad yang akan datang, yang cenderung didominasi oleh negara-negara maju.

Buku ini merupakan suatu upaya untuk menggambarkan berbagai masalah yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang, dalam membangun sektor pertanian mereka pada abad ke-21.




>>> Download Here <<<